Sinta Murni didampingi petugas berdiri di depan rumahnya di Desa/Kecamatan Kroya, Kabupaten Indramayu, Rabu (23/6).
Dalam usianya yang diperkirakan baru tujuh tahun, bocah itu seorang diri mengurus ibunya yang mengalami kondisi agak depresi.
Sinta tak pernah merasakan pendidikan sekolah. Dia juga tidak bisa bermain ceria seperti anak-anak sebayanya.
Sejak tiga tahun terakhir, dia mengurus dan mendampingi ibunya, Nani, yang diperkirakan berumur 37 tahun. Sementara ayahnya, tidak diketahui keberadaannya.
Sinta dan ibunya tinggal berdua di rumah mereka yang tidak layak huni. Rumah tersebut berukuran sekitar 4 x 5 meter. Dinding rumah itu hanya seperempat bagiannya yang terbuat dari bata, sedangkan sisanya dari bilik bambu.
Baca Juga : VIRAL Video Badut Tiduran di Pinggir Jalan, Ternyata Sedang Sakit karena Kelelahan, Ini Kisahnya
Lantai rumahnya pun masih berupa tanah. Ibu dan anak itu tidur hanya beralaskan tikar tanpa kasur yang layak. Kondisi di dalam rumah terlihat berantakan dengan penerangan yang seadanya.
Untuk kebutuhan makan sehari-hari, Sinta dan Nani kerap dibantu oleh tetangga yang peduli terhadap nasib keduanya. Sesekali, Nani mencari rongsokan untuk dijual. Sintalah yang menemaninya dalam mencari barang-barang bekas tersebut. Terkadang, Sintalah yang justru harus sendirian bekerja mencari makan untuk kebutuhannya dan ibunya.
Kondisi yang dialami Sinta dan ibunya kemudian menggerakkan tim dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) untuk turun tangan.
Dengan ditemani petugas motekar Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Indramayu, tim mengunjungi tempat tinggal ibu dan anak tersebut.
“Kami prihatin dengan kondisi Sinta. Ibunya dalam kondisi agak depresi,” kata Koordinator Lapangan LPAI Indramayu, Adi Wijaya, saat ditemui di kediaman Sinta, Rabu (23/6).
Adi mengungkapkan, dari informasi yang diperolehnya, Nani menikah secara agama dan tidak pernah menikah secara resmi di kantor urusan agama (KUA). Nani dan suaminya kemudian dikaruniai tiga orang anak. Kedua anak mereka dikabarkan dibawa oleh sang ayah entah ke mana.
Sedangkan, Sinta tetap tinggal bersama ibunya sejak tiga tahun terakhir. Kehidupan sehari-harinya sangat memprihatikan dan serbakekurangan.
Kondisi itu semakin parah karena ibunya mengalami sedikit depresi sejak beberapa tahun terakhir sehingga tak bisa maksimal dalam mengurus anak dan mencari nafkah. Dengan kondisinya itu, Nani pun sulit diajak berkomunikasi.
Nani dan Sinta selama ini tidak memiliki dokumen kependudukan apa pun. Hal itulah yang membuat keduanya terkendala dalam menerima program bantuan pemerintah.
Adi menyatakan, pihaknya akan mengupayakan untuk membawa Sinta ke panti asuhan di Kabupaten Subang. Dengan tinggal di panti asuhan, hidupnya tidak telantar dan bisa mengenyam pendidikan. Selain itu, pihaknya akan mengupayakan untuk membantu pengobatan terhadap Nani.
Dalam kesempatan itu, tim LPAI didampingi petugas motekar DP3A Kabupaten Indramayu berusaha memberi pengertian kepada Nani agar bersedia mengizinkan anaknya dibawa ke panti asuhan. Nani pun mengizinkannya.
Adi mengakui, ketiadaan dokumen kependudukan Nani dan Sinta menjadi kendala dalam upaya tersebut. Untuk itu, pihaknya akan berkoordinasi dengan pemerintah desa setempat.
Sementara itu, saat ditanyakan apakah ingin bersekolah, Sinta mengaku sangat menginginkannya. Dia mengaku senang karena dijanjikan bisa sekolah.
“Ingin sekolah seperti teman-teman. Nanti pengen jadi dokter,” tutur Sinta.
Sinta mengaku, ingin menjadi dokter agar bisa merawat ibunya yang mengalami sedikit depresi. Dia juga ingin membahagiakan ibunya.
Berita Viral Lainnya :
Dianiaya Majikannya 9 Bulan, Seorang Wanita Tewas Kelaparan, Berat Badan 24 Kg saat Meninggal

Seorang pembantu rumah tangga tewas akibat kekejaman majikannya.
Diketahui sang majikan tega menyiksanya selama 9 bulan lamanya.
PRT bernama Piang Ngaih Don itu tewas kelaparan akibat ulah majikannya Gaiyathiri.
Saat meninggal dunia, kondisi tubuh Piang Ngaih Don pun memilukan.
Berat badannya hanya tinggal 24 kilogram.
Namun demikian, pengadilan tidak mengklasifikasikan peristiwa ini sebagai sebuah pembunuhan.
Hal tersebut lantaran terungkap kondisi kejiwaan sang pelaku.
Gaiyathiri rupanya memiliki gangguan mental.
Ia mengalami gangguan depresi berat, yang secara substansial berkontribusi pada perbuatannya melakukan pelanggaran.
Dakwaan pembunuhan pada Gaiyathiri pun akhirnya direduksi menjadi culpable homicide yang tidak sama dengan pembunuhan (murder).
Gaiyaithiri mengakui bersalah atas 28 pelanggaran.
Hakim See Kee Oon mempertimbangkan 87 dakwaan lainnya pada Gaiyathiri, yang berasal dari tindakan pelecehan yang dilakukan selama dua bulan, untuk dijatuhi hukuman.
Pengacaranya Joseph Chen mengatakan anggota keluarganya telah memintanya untuk mengajukan banding atas hukuman tersebut.

Joseph Chen meminta pengadilan untuk melakukan sidang tertutup yang melarang peliputan media untuk melindungi anak-anaknya dari publisitas media yang merugikan, serta pengurangan hukuman.
Joseph Chen meminta tuduhan pembunuhan Gaiyathiri dikurangi dan meminta kliennya dijatuhi hukuman delapan hingga sembilan tahun penjara.
Gaiyathiri, katanya, berubah menjadi pelaku kekerasan beberapa bulan setelah melahirkan anak keduanya ketika mulai menderita depresi pascakelahiran dan gangguan kepribadian obsesif kompulsif.
Gaiyathiri berdalih pekerjaan Piang Ngaih Don kurang bersih menyebabkan anak-anaknya jatuh sakit.
Namun jaksa Faizal mematahkan argumen pengacara Gaiyathiri, tidak relevan dengan hukuman.
Faizal mencatat bahwa beberapa contoh penganiayaan yang dilakukan Gaiyathiri pada korban, seperti mengenakan setrika panas pada Piang, tidak ada hubungannya dengan kebersihan.
“Dia tidak menunjukkan penyesalan apapun. Dia terus membuat menganiayaan terhadap pekerja rumah tangga dengan menyalahkannya meski tidak ada kesalahan,” kata jaksa di pengadilan.
“Kekerasan yang dilakukan terdakwa karena melihat almarhum sebagai manusia yang lebih rendah.”
TIDAK DIHUKUM PENJARA SEUMUR HIDUP KARENA GANGGUAN MENTAL
Hakim See Kee Oon mengatakan bahwa fakta dan klip video penganiayaan yang terekam CCTV di flat, menceritakan sebuah “kisah mengejutkan”.
“(Piang Ngaih Don) dibuat untuk menanggung penderitaan fisik dan psikologis disiksa untuk waktu yang lama sebelum menyerah pada luka-lukanya. Pemaparan jaksa dibingkai dalam istilah emosional yang kuat tetapi kata-kata tidak dapat menggambarkan kekejaman hina dari perilakunya yang mengerikan yang dihadapi korban, ” tambah hakim.
Hakim See Kee Oon mengatakan bahwa dia akan “sedikit ragu-ragu” dalam menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup jika bukan karena gangguan mentalnya, hukuman maksimal.
Tindak pidana pembunuhan yang dapat dikenai hukuman penjara seumur hidup atau penjara hingga 20 tahun, berdasarkan ketentuan KUHP Singapura.
Hakim See Kee Oon juga mengatakan klaim penyesalan terdakwa tidak terbukti, karena pagi hari kematian Piang Ngaih Don, Gaiyathiri malah berbohong kepada petugas polisi.
Gaiyathiri menemukan Piang Ngaih Don tergeletak di lantai dapur pagi itu tapi tidak memanggil ambulans karena menurutnya kondisi korban tidak serius.
“Hukuman itu harus menandakan dengan jelas kemarahan dan kebencian masyarakat terhadap pelanggaran ini.”
31 bekas luka baru dan 47 luka luar di sekujur tubuh
Gaiyathiri mengaku menyiksa Piang dalam waktu yang lebih lama, tapi CCTV hanya menyimpan rekaman selama 35 hari.
Penyidik hanya mengandalkan rekaman dari 21 Juni hingga 26 Juli 2016.
Klip video ini menunjukkan beberapa contoh penganiayaan termasuk Gaiyathiri menyeret rambut Piang Ngaih Don.
Gaiyathiri terus-menerus marah kepada Piang Ngaih Don karena dianggap tidak higienis dan kelambatan, secara fisik dan verbal melecehkan wanita yang lebih muda dan merampas makanan dan airnya.
Piang Ngaih Don kehilangan berat 15 kg dan hanya 24 kg ketika dia meninggal di flat tiga kamar keluarga di Bishan Street 11 pada 26 Juli 2016.
Pelecehan verbal Gaiyathiri terhadap Piang Ngaih Don meningkat menjadi kekerasan fisik mulai Oktober 2015 dan seterusnya.
Gaiyathiri menyiksa Piang Ngaih Don hampir setiap hari, baik sendirian atau bersama ibunya Prema S Naraynasamy (61), dan seringkali beberapa kali sehari.
Pada hari kematiannya, Piang Ngaih Don dipukuli Gaiyathiri karena lambat mencuci pakaian.
Piang Ngaih Don kemudian diikat ke kisi-kisi jendela selama beberapa jam.
Otopsi menemukan 31 bekas luka baru dan 47 luka luar di sekujur tubuh Piang Ngaih Don.
Suami Gaiyathiri, sersan staf polisi yang diskors Kevin Chelvam, 42, dan ibunya Prema, juga masing-masing menghadapi lima dan 49 dakwaan sehubungan dengan penganiayaan tersebut.
Kasus keduanya juga disidangkan di pengadilan.
Di Singapura, terdapat sekitar 250.000 pembantu rumah tangga, berasal dari sejumlah negara termasuk Indonesia, Myanmar atau Filipina.
Kasus penyiksaan biasa terjadi. Pada 2017, pasangan suami istri dipenjara karena membiarkan pembantu rumah tangga mereka asal Filipina, kelaparan.
Pada 2019, pasangan suami istri lain dipenjara karena menyiksa pembantu asal Myanmar